Jumat, 19 April 2024

Kota Lama Selepas Hujan

 

Jalanan yang masih basah selepas hujan malam itu, aku duduk seorang diri menunggu kau hampiri. Di bawah lampu jalanan yang temaram dan diantara bangunan tua yang kokoh berdiri, kamu melangkahkan kaki menujuku.

Kebisingan yang ada disekeliling mendadak redam, yang terdengar hanya derap langkah kakimu yang semakin mendekat membuat detak jantungku berdegup begitu kencang. Aku berusaha keras menyembunyikannya, takut kau bisa mendengar.

Tepat dihadapanku, mata kita beradu lalu kau tersenyum menyambutku. Sial, ternyata kau memiliki senyum yang begitu magis. Aku yang datang dengan hati yang apatis mendadak luluh menjadi begitu pemalu dihadapanmu. Aku kembali merutuki diri, mempertanyakan diri “bukankah hatimu hampir mati, lalu kenapa pipimu merona hanya dengan senyuman yang ia layangkan? Payah sekali.”

Malam itu, kau berkata terjebak dalam rutinitas orang dewasa. Hari-hari kau hanya bergelut di tempat kerja, kosan lalu lapangan sepakbola. Kau mengadu tidak mengenal banyak tempat di sini meski sudah menetap tiga tahun lamanya.

Lalu aku menawarimu pergi ke kedai kopi yang selalu kukunjungi di ujung gang itu. kau pun setuju. Di kedai kopi itu, suasana mirip pasar begitu rame. Kursi-kursi sudah terisi, bahkan musik yang diputar kalah berisik dengan suara gelak tawa di meja-meja para pengunjung. Matamu menyusuri segala sudut ruang dan menemukan satu tempat kosong di pojok. Persis, tempat duduk terakhir kali ketika aku datang sendiri. Tapi kini tidak lagi. kedatanganku bukan lagi untuk secangkir es amerikano tapi kedatanganku untuk menyambut kehadiranmu.

Saat itu, kita saling meminjamkan telinga. Bertukar kabar satu sama lain setelah sekian purnama tidak berjumpa. Kita berbagi tentang apa saja. Pikiran-pikiran acak yang muncul tiba-tiba, menertawakan kegagalan yang pernah kita lalui, politik yang sedang dibicarakan banyak orang, kehilangan terbesar yang baru saja kau lalui dan sebuah rahasia yang kau bagikan denganku.

Terlalu asyik bercengkrama membuat kita tidak sadar bahwa kedai kopi yang tadinya begitu rame kini hanya tinggal kita berdua. Aku menghentikanmu yang sedang berceloteh untuk beranjak dari kedai kopi ini, sebab para barista sepertinya menginginkan kita untuk segera pergi dan mereka bisa menutup kedai karena waktu kerja mereka hampir habis.

Kita bersepakat untuk menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi dengan berjalan menyusuri jalanan kota lama. Di sepanjang jalan, kau melanjutkan ceritamu dan aku menyimak dengan begitu seksama, mencoba mengeja dirimu dengan baik. Aku menyadari bahwa Kamu banyak berubah. Aku bangga melihat kamu tumbuh dengan baik selama ini meski tidak ada aku di dalamnya. Tidak hanya cerdas secara pemikiran tapi juga cerdas secara emosional. Menjadi teduh lagi meneduhkan.

Kamu persis kota lama selepas hujan malam itu. Memberikan getaran yang manis lagi menenangkan. Namun kehadiranmu yang tiba-tiba membuatku kuwalahan menghadapi gemuruhnya dada. Meski begitu Aku ingin bertanya, maukah kau bertukar tatap lagi denganku?

   

 EL 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan lainnya

Musim Rindu dipelantaran Juni

  Hai Jun~ Ini aku gadis bulan hujan Desember. Senang menyambut hujan dibulan Juni. Setelah mengenal pak Sapardi, aku sempat ingin menjadi...