Jalanan yang masih
basah selepas hujan malam itu, aku duduk seorang diri menunggu kau hampiri. Di
bawah lampu jalanan yang temaram dan diantara bangunan tua yang kokoh berdiri,
kamu melangkahkan kaki menujuku.
Kebisingan yang ada
disekeliling mendadak redam, yang terdengar hanya derap langkah kakimu yang
semakin mendekat membuat detak jantungku berdegup begitu kencang. Aku berusaha
keras menyembunyikannya, takut kau bisa mendengar.
Tepat dihadapanku, mata
kita beradu lalu kau tersenyum menyambutku. Sial, ternyata kau memiliki senyum
yang begitu magis. Aku yang datang dengan hati yang apatis mendadak luluh
menjadi begitu pemalu dihadapanmu. Aku kembali merutuki diri, mempertanyakan
diri “bukankah hatimu hampir mati, lalu kenapa pipimu merona hanya dengan senyuman
yang ia layangkan? Payah sekali.”
Malam itu, kau berkata
terjebak dalam rutinitas orang dewasa. Hari-hari kau hanya bergelut di tempat
kerja, kosan lalu lapangan sepakbola. Kau mengadu tidak mengenal banyak tempat
di sini meski sudah menetap tiga tahun lamanya.
Lalu aku menawarimu
pergi ke kedai kopi yang selalu kukunjungi di ujung gang itu. kau pun setuju.
Di kedai kopi itu, suasana mirip pasar begitu rame. Kursi-kursi sudah terisi,
bahkan musik yang diputar kalah berisik dengan suara gelak tawa di meja-meja
para pengunjung. Matamu menyusuri segala sudut ruang dan menemukan satu tempat
kosong di pojok. Persis, tempat duduk terakhir kali ketika aku datang sendiri.
Tapi kini tidak lagi. kedatanganku bukan lagi untuk secangkir es amerikano tapi
kedatanganku untuk menyambut kehadiranmu.
Saat itu, kita saling
meminjamkan telinga. Bertukar kabar satu sama lain setelah sekian purnama tidak
berjumpa. Kita berbagi tentang apa saja. Pikiran-pikiran acak yang muncul
tiba-tiba, menertawakan kegagalan yang pernah kita lalui, politik yang sedang
dibicarakan banyak orang, kehilangan terbesar yang baru saja kau lalui dan sebuah
rahasia yang kau bagikan denganku.
Terlalu asyik bercengkrama
membuat kita tidak sadar bahwa kedai kopi yang tadinya begitu rame kini hanya
tinggal kita berdua. Aku menghentikanmu yang sedang berceloteh untuk beranjak
dari kedai kopi ini, sebab para barista sepertinya menginginkan kita untuk
segera pergi dan mereka bisa menutup kedai karena waktu kerja mereka hampir
habis.
Kita bersepakat untuk
menghabiskan waktu sedikit lebih lama lagi dengan berjalan menyusuri jalanan
kota lama. Di sepanjang jalan, kau melanjutkan ceritamu dan aku menyimak dengan
begitu seksama, mencoba mengeja dirimu dengan baik. Aku menyadari bahwa Kamu
banyak berubah. Aku bangga melihat kamu tumbuh dengan baik selama ini meski
tidak ada aku di dalamnya. Tidak hanya cerdas secara pemikiran tapi juga cerdas
secara emosional. Menjadi teduh lagi meneduhkan.
Kamu persis kota lama
selepas hujan malam itu. Memberikan getaran yang manis lagi menenangkan. Namun kehadiranmu
yang tiba-tiba membuatku kuwalahan menghadapi gemuruhnya dada. Meski begitu Aku ingin
bertanya, maukah kau bertukar tatap lagi denganku?
Tidak ada komentar:
Posting Komentar