Senin, 19 Agustus 2019

Sebuah Kisah Di Lampu Merah.


Semarang sore ini semakin riuh. Tak ada jalan yang lengang. Terlihat wajah orang-orang di jalanan menegang, sebab semua kepala membicarakan pulang. Setelah bergelut dengan aktifitas yang melelahkan dan membosankan, untuk mencukupi tuntutan kebutuhan dan gengsi yang harus tercukupi.

Bagi kebanyakan orang, macet adalah kesialan. Sesuatu yang patut medapatkan lontaran umpatan. Hanya saja bagi sebagian orang, macet adalah kesempatan mewah bahkan mereka menyebutnya lahan syukur.

Lampu lalu lintas menyala merah terang, bertanda pengendara harus berhenti. Orang-orang mendesah, seakan tak terima harus lebih lama menghabiskan waktu di jalanan. Seorang bocah dengan kulit kecoklatan, dengan baju kebesaran yang telah memudar dilahap waktu. Berjalan menghampiri pengendara satu persatu, tangan kirinya memeluk tumpukan koran sedang tangan kanannya menyodorkan koran untuk ditawarkan. Senyumnya tak pernah pudar meski kebanyakan orang menolak untuk membeli. Beberapa kepala berfikir ingin membeli sebab merasa iba, hanya saja mereka berfikir bahwa mengeluarkan uang di dompet terlalu ribet dan mereka takut lampu lalu lintas berganti berwarna hijau dan mendapatkan klakson dari pengendara lain.

Terlihat perempuan muda salah satu penggendara motor yang terjebak lampu lalu lintas, menangkap kekhawatiran yang diselundupkan pada tumpukan koran yang masih terlihat tebal. Bibir anak itu memang tersenyum, hanya saja sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut karena bulan sedang bersiap menggantikan matahari yang sudah siap berpamit, tapi koran yang dijajakan hanya laku beberapa, bahkan jika dihitung  jari tanganpun masih bersisa.

” Dek, beli korannya” seru perempuan muda itu dengan tangan melambai ke arah bocah penjaja koran.

Kakinya sedikit berlari, wajahnya tersenyum lebar tapi ringan.
“ 2000 ribu kak “ ucapnya dengan tangan kanan menyodorkan koran.

perempuan muda itu mengeluarkan uang Rp 20.000.
“kembaliannya ambil adek ya” .

             Gadis itu tahu betul bahwa anak kecil itu hanya mencari uang untuk bertahan hidup sehari-hari bukan untuk gaya hidup mewah. Jadi tak ada salahnya atau bahwa memang seharusnya kita membantu mereka. untukmu yang membaca ini, jangan takut melebihkan uang pada pedagang asongan atau pedagang kecil lainnya karena mereka mencari uang hanya untuk bertahan hidup.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan lainnya

Musim Rindu dipelantaran Juni

  Hai Jun~ Ini aku gadis bulan hujan Desember. Senang menyambut hujan dibulan Juni. Setelah mengenal pak Sapardi, aku sempat ingin menjadi...