Ketika perihal tentangmu mencoba menyeruak keluar meminta
untuk dikenang, aku menikamnya berulang-ulang. Menjadi pembunuh ulung. Memang benar
kenangannya hanya berisi perkara menyenangkan. Tapi riuh rindunya begitu kejam
membantai nalar.
Rasa penasaran yang kerap datang meminta untuk mencari tahu
kabar tentangmu selalu urung kulakukan, agar tak lagi uring-uringan sepanjang
waktu. Ada perasaan yang harus kumakamkan meski tumbuh kembangnya begitu pesat
dan sehat. Ada harapan yang harus kulenyapkan meski hadirnya dengan doa-doa tulus
dari dlubuk hati luguku.
Melihat kau telah baik sedang aku masih belum, nyatanya masih
sulit kuterima. Aku begitu porak poranda dihancurkan diriku sendiri. Bodohnya,
aku menghindar dari rasa sedih yang seharusnya kueja dengan baik agar aku bisa
membaca diriku dengan benar. Agar sesuatu yang ku pendam tidak berakhir
lebam-lebam.
Tapi malah mahir berpura-pura seperti tak terjadi apa-apa. Berlaku
layaknya orang dewasa yang tenang. Membungkam paksa segala kebisingan yang
ingin berdendang dengan riangnnya.
Bajingan. kau rampas ketenangan dalam pagiku bahkan
hari-hariku. Aku tidak membiarkan diriku untuk mengingat dirimu, meratapi
segala kejadian yang telah terjadi, tapi kenapa kau malah menjelma bunga tidurku?
Maksudmu apa? Tidak tahukah kau, aku begitu bekerja keras untuk menghiraukanmu
meski aku begitu ingin mengingatmu, tapi selalu kutepis habis-habisan hingga mebuatku
hampir menjadi apatis.
Sial. Gema yang kau ciptakan itu membuatku luluh lantah. Terpontang-panting
seperti ranting yang dimainkan angin. Terombang ambing seperti perahu yang
menari di tengah laut bergaun ombak.
Aku terus membantah bahwa kamu masih pemenangnya. Tapi aku
sadar, seperti kata Amigdala. Percuma, sebab
Tuhan sebut kita sia-sia. Tapi setelah lagu itu selesai berdendang. Spotify
memutar lagu Nadin Amizah “Sorai” seperti magis.
‘Kau dan aku saling membantu
Membasuh hati yang pernah pilu
Mungkin akhirnya tak jadi satu
Namun bersorai pernah bertemu.’
Setelah menyimak lirik itu dengan seksama. Aku terperanjat. Menyadari bahwa jantungku sudah tak berdetak pilu yang ngilu ketika mengingatmu. Aku kembali menerima diriku dengan kondisi babak belur dan penuh lebam dimana-mana. Hal menyenangkan nyatanya bisa berubah menjadi hal paling menakutkan dengan waktu yang begitu singkat.
Ada makna yang tertinggal yang tak kusadari begitu berarti dari kejadian kemarin yang membuatku terkurung dalam murung. Kini aku melihat cahaya sebab telah berhasil bertahan melewati hari yang gelapnya begitu pekat. Aku berhasil meletakkan titik dalam cerita yang lalu pada kalimat yang bijak dan begitu hangat. Aku berhasil membuka bab baru dengan diriku yang masih menjadi tokoh utama. Perlahan tumbuh dengan kuat, teduh lagi meneduhkan, mekar dengan cantik dan memiliki harum semerbak. Begitulah karakterku di bab baru.
Seperti kembang api
yang nyalanya begitu cantik meski hanya sekejap tapi mampu memberikan warna dan
cahaya pada langit yang gelap dan menghangatkan hati yang hampir apatis. Terima
kasih telah terlibat membantuku menemukan diriku dengan versi yang sekarang
begitu kukagumi dan kusyukuri. Terimakasih sebab hadirmu seperti kembang api di
malam hari. Berbahagialah, sebab aku pun sedang.
Dari perempuan yang
perlahan kembali menemukan utuhnya dan melanjutkan perjalanan yang sesekali
mendendangkan lagu Tulus, hati-hati dijalan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar