Bagian 1 Aku masih ingat, kedatanganmu yang tiba-tiba nyatanya mampu membuatku merona dan beranjak dari merana. Mata yang membuatku terpanah, pun tawa yang membuatku hanyut dan ingin tenggelam. Menjelma kenangan yang bersembunyi dirongga-rongga ingatan. Menggodaku untuk malu-malu berharap. Kau, lelaki yang kubagi sepotong waktuku di pojok kedai itu. Bolehkah aku menjadi sunyi yang paling bising dikepalamu? Ada detak yang tak rela sebab derap langkahmu semakin lirih, Sedang harapku telah meninggi. Kau paham bukan? Angan seringkali membawa kita pada ingin yang teramat. Tapi aku tidak bisa menyimpanmu dalam hati, Pamali, nanti Tuhan marahi. Tapi bolehkah kau kusimpan dalam puisi? Dunia perlu tahu, Ternyata hatiku tak semati itu. *************************************** Bagian Dua Aku ingin berjudi dengan segala kesempatan yang kumiliki Mempertaruhkan seluruhnya untuk mendapatkanmu. Aku tak punya pilihan lain selain memberikan seluruhku tanpa kehilangan diriku. Tak berhenti
Jalanan yang masih basah selepas hujan malam itu, aku duduk seorang diri menunggu kau hampiri. Di bawah lampu jalanan yang temaram dan diantara bangunan tua yang kokoh berdiri, kamu melangkahkan kaki menujuku. Kebisingan yang ada disekeliling mendadak redam, yang terdengar hanya derap langkah kakimu yang semakin mendekat membuat detak jantungku berdegup begitu kencang. Aku berusaha keras menyembunyikannya, takut kau bisa mendengar. Tepat dihadapanku, mata kita beradu lalu kau tersenyum menyambutku. Sial, ternyata kau memiliki senyum yang begitu magis. Aku yang datang dengan hati yang apatis mendadak luluh menjadi begitu pemalu dihadapanmu. Aku kembali merutuki diri, mempertanyakan diri “bukankah hatimu hampir mati, lalu kenapa pipimu merona hanya dengan senyuman yang ia layangkan? Payah sekali.” Malam itu, kau berkata terjebak dalam rutinitas orang dewasa. Hari-hari kau hanya bergelut di tempat kerja, kosan lalu lapangan sepakbola. Kau mengadu tidak mengenal banyak tempat di si