Selasa, 24 Desember 2019

Sebuah Perjalanan dan Orang Asing yang Manis



Dalam sebuah perjalanan apa yang kamu harapkan?

Aku sendiri selalu menunggu bisa berdialog dengan orang asing yang aku temui. Menurutku berdialog dengan mereka begitu menyenangkan. Orang asing selalu menyuguhkan cerita yang menarik dan penuh rasa. Entah manis, pahit, atau bisa jadi keduanya atau bahkan malah menyebalkan.

Sebab itu, aku punya beberapa pertanyaan pamungkas yang selalu aku tujukan ke mereka. Tentu pertanyaan ini aku lempar saat aku sudah mendapatkan suasananya. Biasanya untuk  mendapatkan suasana yang nyaman untuk berdialog, aku mengawali dengan menawarkan permen yang selalu aku bawa. Setelah adegan itu, beberapa dari mereka langsung membuka suara memulai berdialog denganku, dan beberapa lainnya masih mempertahankan untuk diam, jika sudah begini tandanya aku yang harus memulai percakapan. Setelah percakapan basa-basi, aku mulai memutuskan akan melanjutkan berdialog atau dialog harus dicukupkan sampai disitu.

Kembali kepertanyaan pamungkasku. Seperti ini kira-kira “akhir-akhir ini apa ada sesuatu  kejadian yang menakjubkan?”, atau seperti ini “apa kamu percaya keajaiban?” lalu disambung dengan ini “kamu sendiri apa pernah mengalami keajaiban itu?”. Dari pertanyaan singkat itu aku mendapatkan jawaban yang cukup mengenyangkan, malah pernah aku berdialog hampir dua jam dengan seseorang yang kutemui di kereta arah Brebes menuju Semarang poncol tanpa henti.

Waktu itu seorang lelaki sekisar umur 28 tahun. Seorang fotografer asal Brebes, Arman namanya. Jika kebanyakan orang ingin terlihat tahu segalanya atau ingin disebut pintar, lelaki itu malah ingin terlihat bodoh. Katanya sih biar nggak direpotin. Alasan yang lucu bukan? Tapi dia lelaki cerdas menurutku, apa karna dia seorang fotografer ya? Caranya dalam memandang sesuatu, beda denganku tapi nyambung. Sudut pandangnya, cara menyampaikan pikirannya itu menggambarkan dia sosok yang cerdas.

Satu hal yang menarik dari pertemuanku dengan lelaki bernama Arman itu. Dia bercerita tentang kisahku bukan kisahnya. Iya, ternyata lelaki itu mampu membaca kisah seseorang. Apa kamu percaya , Jika ada manusia mampu membaca kisah manusia lainnya yang baru saja ia temui?

Senin, 19 Agustus 2019

Sebuah Kisah Di Lampu Merah.


Semarang sore ini semakin riuh. Tak ada jalan yang lengang. Terlihat wajah orang-orang di jalanan menegang, sebab semua kepala membicarakan pulang. Setelah bergelut dengan aktifitas yang melelahkan dan membosankan, untuk mencukupi tuntutan kebutuhan dan gengsi yang harus tercukupi.

Bagi kebanyakan orang, macet adalah kesialan. Sesuatu yang patut medapatkan lontaran umpatan. Hanya saja bagi sebagian orang, macet adalah kesempatan mewah bahkan mereka menyebutnya lahan syukur.

Lampu lalu lintas menyala merah terang, bertanda pengendara harus berhenti. Orang-orang mendesah, seakan tak terima harus lebih lama menghabiskan waktu di jalanan. Seorang bocah dengan kulit kecoklatan, dengan baju kebesaran yang telah memudar dilahap waktu. Berjalan menghampiri pengendara satu persatu, tangan kirinya memeluk tumpukan koran sedang tangan kanannya menyodorkan koran untuk ditawarkan. Senyumnya tak pernah pudar meski kebanyakan orang menolak untuk membeli. Beberapa kepala berfikir ingin membeli sebab merasa iba, hanya saja mereka berfikir bahwa mengeluarkan uang di dompet terlalu ribet dan mereka takut lampu lalu lintas berganti berwarna hijau dan mendapatkan klakson dari pengendara lain.

Terlihat perempuan muda salah satu penggendara motor yang terjebak lampu lalu lintas, menangkap kekhawatiran yang diselundupkan pada tumpukan koran yang masih terlihat tebal. Bibir anak itu memang tersenyum, hanya saja sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut karena bulan sedang bersiap menggantikan matahari yang sudah siap berpamit, tapi koran yang dijajakan hanya laku beberapa, bahkan jika dihitung  jari tanganpun masih bersisa.

” Dek, beli korannya” seru perempuan muda itu dengan tangan melambai ke arah bocah penjaja koran.

Kakinya sedikit berlari, wajahnya tersenyum lebar tapi ringan.
“ 2000 ribu kak “ ucapnya dengan tangan kanan menyodorkan koran.

perempuan muda itu mengeluarkan uang Rp 20.000.
“kembaliannya ambil adek ya” .

             Gadis itu tahu betul bahwa anak kecil itu hanya mencari uang untuk bertahan hidup sehari-hari bukan untuk gaya hidup mewah. Jadi tak ada salahnya atau bahwa memang seharusnya kita membantu mereka. untukmu yang membaca ini, jangan takut melebihkan uang pada pedagang asongan atau pedagang kecil lainnya karena mereka mencari uang hanya untuk bertahan hidup.

Minggu, 18 Agustus 2019

Bumi Manusia yang diperdebatkan



Bumi manusia karya Pramoedya Ananta Toer berhasil difilmkan oleh Hanung Bramantyo Dan kini banyak diperbincangkan oleh masyarakat yang menghasilkan pro dan kontra. Beberapa orang tidak setuju sebab mereka menganggap karya Pram harus tetap berbentuk tulisan dan tidak sepatutnya dikomersilkan dan mereka takut masyarakat mengenal minke bumi manusia karna sosok Iqbaal Ramadhan. Beberapa orang lainnya begitu antusias, berfikir terbuka dan mengapresiasi atas difilmkannya karya Pram. Jadi siapa yang salah? 

Saya pribadi tidak mempersalahkan dan saya mengapresiasi atas karya pram yang di visualisasi kan oleh Hanung Bramantyo  Dan saya berharap masyarakat lebih berfikir terbuka dan maju. Saya pribadi bukan penggemar Iqbal Ramadhan tapi saya mengakui Iqbal aktor yang cerdas dalam memerankan sosok Minke. Dan saya pikir dengan diperankannya Iqbal sebagai Minke, pemasaran film bumi manusia juga berhasil mereka sapu. Dengan begitu banyak yang mengenal Pramoedya Ananta Toer dan karyanya. Mereka yang mengenal Pramoedya melalui karya film, apa yang salah dengan itu?

Bumi Manusi baik dalam karya tulisan (buku) ataupun visual (film) Minke tetaplah minke, pemuda intelektual. Dan, Nyai Ontosoroh tetaplah Nyai Ontosoroh, seorang gundik dengan pribadi pemberani, cerdas, yang begitu membius kepala. Dan aku menyukai keduanya.

Tulisan lainnya

Musim Rindu dipelantaran Juni

  Hai Jun~ Ini aku gadis bulan hujan Desember. Senang menyambut hujan dibulan Juni. Setelah mengenal pak Sapardi, aku sempat ingin menjadi...