Langsung ke konten utama

Sebuah Kisah Di Lampu Merah.


Semarang sore ini semakin riuh. Tak ada jalan yang lengang. Terlihat wajah orang-orang di jalanan menegang, sebab semua kepala membicarakan pulang. Setelah bergelut dengan aktifitas yang melelahkan dan membosankan, untuk mencukupi tuntutan kebutuhan dan gengsi yang harus tercukupi.

Bagi kebanyakan orang, macet adalah kesialan. Sesuatu yang patut medapatkan lontaran umpatan. Hanya saja bagi sebagian orang, macet adalah kesempatan mewah bahkan mereka menyebutnya lahan syukur.

Lampu lalu lintas menyala merah terang, bertanda pengendara harus berhenti. Orang-orang mendesah, seakan tak terima harus lebih lama menghabiskan waktu di jalanan. Seorang bocah dengan kulit kecoklatan, dengan baju kebesaran yang telah memudar dilahap waktu. Berjalan menghampiri pengendara satu persatu, tangan kirinya memeluk tumpukan koran sedang tangan kanannya menyodorkan koran untuk ditawarkan. Senyumnya tak pernah pudar meski kebanyakan orang menolak untuk membeli. Beberapa kepala berfikir ingin membeli sebab merasa iba, hanya saja mereka berfikir bahwa mengeluarkan uang di dompet terlalu ribet dan mereka takut lampu lalu lintas berganti berwarna hijau dan mendapatkan klakson dari pengendara lain.

Terlihat perempuan muda salah satu penggendara motor yang terjebak lampu lalu lintas, menangkap kekhawatiran yang diselundupkan pada tumpukan koran yang masih terlihat tebal. Bibir anak itu memang tersenyum, hanya saja sorot matanya tak bisa menyembunyikan rasa takut karena bulan sedang bersiap menggantikan matahari yang sudah siap berpamit, tapi koran yang dijajakan hanya laku beberapa, bahkan jika dihitung  jari tanganpun masih bersisa.

” Dek, beli korannya” seru perempuan muda itu dengan tangan melambai ke arah bocah penjaja koran.

Kakinya sedikit berlari, wajahnya tersenyum lebar tapi ringan.
“ 2000 ribu kak “ ucapnya dengan tangan kanan menyodorkan koran.

perempuan muda itu mengeluarkan uang Rp 20.000.
“kembaliannya ambil adek ya” .

             Gadis itu tahu betul bahwa anak kecil itu hanya mencari uang untuk bertahan hidup sehari-hari bukan untuk gaya hidup mewah. Jadi tak ada salahnya atau bahwa memang seharusnya kita membantu mereka. untukmu yang membaca ini, jangan takut melebihkan uang pada pedagang asongan atau pedagang kecil lainnya karena mereka mencari uang hanya untuk bertahan hidup.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk El yang Berumur 24 Tahun

Banyak tulisan yang aku buat untuk orang lain, tapi aku lupa membuat surat untuk diriku sendiri. Jadi surat ini aku peruntukan untuk diriku sendiri yang sedang menjalani usia 24 tahunnya. Hai El, apa kabar? Sedang tidak baik-baik saja kan? tidak apa~ hidup memang seperti ini. Kan malah aneh kalo hidup selalu baik-baik saja. nanti malah kamu nggak bisa bersyukur. Nanti kamu nggak tahu nikmatnya ngeliatin langit ketika hari lagi capek-capeknya. Beberapa tahun terakhir banyak hal-hal menyebalkan yang menganggu pikiran kan? banyak kejutan-kejutan yang terjadi, yang seringkali bikin tidur tidak nyenyakkan?. Tidak apa~ kan kamu pandai berprasangka baik, percaya saja, Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang bakal bikin kamu senyum-senyum pada akhirnya. Sekarang umur 24 tahun, bagaimana rasanya berada di umur yang sudah dianggap dewasa? Susah ya? Capek ya? Berat ya?. Apalagi ngeliat teman-teman seumuran udah pada kerja, udah bisa ngasih duit ke orang tua, jajanin adek dan ponakan pakai du

Apa Malam Sudah Semakin Larut?

  Hai, apakah kau dari luar? Apakah di luar langit sudah gelap? Kurasa malam sudah semakin larut, aku mulai hanyut dalam takut sebab pikiranku semakin kalut. Aku sudah tahu kau akan datang. Kemarilah, kau boleh duduk sejenak di sini. Tapi kurasa kali ini tidak akan nyaman, aku membawa kabar kurang menyenangkan. Bajumu sedikit basah, kurasa gerimis sudah datang. Bukankah rasanya sudah seperti November akan berakhir? Hujan seringkali tiba tanpa aba-aba. Kau tahu? Aku menyukainya, suasana bulan hujan, aku suka. Mungkin sebab aku lahir di bulan hujan. Entahlah~ Tapi satu yang membuatku tidak suka bulan hujan, aku selalu merasa khawatir jika orang yang kusayangi melakukan perjalanan dan berkendara di saat hujan. Kuharap kau selalu hati-hati ketika berkendara, kurangi kecepatanmu dan jangan bermain ponsel ketika berkendara, dan semoga kau selalu dalam penjagaan Tuhan.   Aku tidak menghidangkan kopi karena cerita kali ini akan terasa pahit. Secangkir teh hangat tawar untukmu, tentu dengan