Senin, 29 Januari 2024

Ingatan Panjang Tentang Perjalanan Singkat Yang Menyenangkan

Akhir-akhir ini hujan seringkali tiba tanpa aba-aba. Tanpa dimulai gerimis kecil yang rintiknya begitu romantis. Tanpa langit dengan awan yang mendung. Hujan datang begitu derasnya dengan angin yang membersamai dan terkadang guntur beserta kilat juga ikut menemani. Rasanya seperti mendapat kejutan dari alam semesta.

Dengan datangnya hujan yang tiba tanpa aba-aba itu, apa kau terusik? Jika aku? Aku tidak. Kau tahu? bagiku rasanya seperti alarm kebahagiaan sedang berdering begitu keras di telinga. Alarm untuk diriku agar menulis rasa rindu yang sedang mengelitik. Alarm untuk membuat indomie rebus rasa soto dengan telor dan 3 cabe. Alarm untuk menyeduh kopi hitam panas. Alarm untuk berbincang romantis dengan Tuhan.

Seperti hari ini, hujan datang dan pergi seenak jidat berkali-kali. Ketika aku menulis ini waktu menunjukkan pukul 23.46 WIB, hujan sedang menguyur bumi bagian Pemalang begitu deras dengan guntur dan kilat sesekali. Seharusnya suasana ini sangat nyaman untuk tidur di bawah selimut. Hanya saja mataku tidak dapat terpejam. Semenjak aku tidak mengonsumsi obat lagi, kebiasaan tidurku juga kembali. Menyebalkan bukan?, rasanya baru kemarin aku begitu senang mendapatkan pola tidur yang sehat meski dibantu dengan obat. Tapi aku lebih senang tidak mengonsumsi obat-obat sialan itu. Kau paham aku tidak pandai menelan obat? Ku beri tau, aku sangat payah soal ini.

Aih kenapa aku jadi membahas obat. Kita lewati saja pembahasan ini. Hujan yang tiba-tiba ini mengingatkanku dengan Bandung di bulan Desember lalu. Jadi ijinkan aku berceloteh tentang Bandung kali ini. Bandung adalah salah satu kota dalam daftar yang ingin kujelajahi. Kau tahu aku sangat menyukai berpergian ke kota orang bukan?. Mengendong ransel dipunggung, berjalan menyusuri kota, pergi ketempat-tempat yang direkomendasikan, kulineran dan bertemu dengan orang-orang asing. Aku menyukainya. Sangat.

Aku mendapatkan Bandung untuk merayakan bab dua puluh limaku, mendapatkan gelar, dan berhasil bertahan dari hal yang menakutkan. Selain itu, aku sangat ingin menikmati Bandung selepas hujan di bulan Desember. Aku ingin membuktikan sesuatu.

Sebenarnya aku lebih menyukai menjadi backpacker dibanding harus menyeret-nyeret koper. memilih penginapan di homestay daripada di hotel dan berpergian seorang diri. Tapi, tidak berlaku untuk perjalanan saat itu. Perjalanan saat itu tidak bisa seenak jidat. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku, menginggat aku pergi ketika tubuhku belum sepenuhnya pulih.  Membawa kotak p3k, memastikan mengkonsumsi obat tepat waktu, tidak ada ransel kesayangan di punggung dan dibersamai ibuku.

Perjalanan di Bandungku selama 3 hari 2 malam. waktu yang begitu singkat, sebab ternyata aku begitu betah di Bandung. Kau tahu? Bandung selepas gerimis di bulan Desember ternyata memang begitu manis dan romantis.

Kedatanganku di Bandung disambut hujan rintik-rintik yang tidak menganggu, tidak pula menghentikan langkahku untuk menyusuri kota ini. Malah aku merasa disambut dengan begitu romantis. Kali ini aku hanya ingin bercerita tentang Bandung bagian Braga.

Hari pertama di Bandung selepas magrib, aku memutuskan untuk mengunjungi jalan Braga sebab lagu dari Fiaersa Besari yang berjudul Bandung, selain itu juga sebab ada Toko Tahilalat yang ingin kudatangi. Keputusanku untuk menyusuri Braga sangat tepat. Desember, Jalan Braga yang basah selepas hujan, penyanyi jalanan yang berdendang, pelukis jalanan yang beraksi, kopi pertama selepas operasi, pasangan kekasih yang mengantri es krim, semuanya memberi getaran yang menyenangkan. Tidak percaya? Kau boleh membuktikannya sendiri.

Tapi Sialnya. Dinginnya Bandung membuat sesuatu menyelusup tak tahu malu. Rindu datang begitu terburu-buru, meminta ditimang-timang, tidak membiarkan kulengah sedikitpun. Jika saja aku bisa membungkus suasana braga malam itu dan perasaanku saat itu, akan kubungkuskan untukmu dalam amplop cokelat yang kututup rapat-rapat dan kukirimkan kealamat rumahmu. Tapi aku lupa, seperti Jalan Braga yang kini hanya bisa di kenang, kau pun sama.

Kau tahu? setelah menelisik lebih dalam, kau persis seperti Braga kala itu. seperti Braga yang memberikan getaran manis, kau pun sama. Seperti udara braga yang begitu syahdu, kau pun sama. Seperti Braga yang membuatku betah, kau pun sama. Seperti Braga yang hanya memberikan ingatan yang bahagia, kau pun sama. Seperti Braga ketika ditinggalkan memberikan oleh-oleh sebungkus rindu penuh, kau pun sama.

Seperti Braga yang tidak akan mengingat orang-orang yang berkunjung sebab terlampau banyak yang berlalu-lalang, kau pun sama. Aku salah satu orang yang datang begitu singkat dikehidupanmu, kini dipaksa meredup sebab banyak orang-orang yang juga berlalu-lalang dikehidupanmu. Bukankah ingatan tentangku telah meredup? Atau bahkan sudah padam? Tapi bagiku kau seperti Braga yang kuanggap istimewah meski perjalananku begitu singkat. Ingatan tentangku hanya sementara dikepalamu tapi ingatan tentangmu ternyata selamanya diingatanku. 

 

Pemalang yang sedang di guyur hujan pukul satu dini hari.

Dari perempuan yang begitu bahagia sebab kembali menulis

Kamis, 25 Januari 2024

Aku Padam Agar Kau Bisa Kembali Menyala


Hai, ini aku perempuan yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Aku akan berceloteh soal perasaanku dengan maksud tulisan ini akan menjadi pengingat diriku dan alat untuk meregulasi emosiku dengan sehat.

Kau tahu? rasa bersalah itu masih kerap menyelimuti malamku. Aku benci ketika kepalaku selalu bertengkar dengan perasaanku sendiri. Berdebat begitu hebat, membuatku kuwalahan. Aku berharap logikaku selalu menjadi pemenang dalam perdebatan.

Masih ada malam dimana aku menanggisi diri yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Kemarin aku tumbuh menjadi makhluk yang jahat, menjadi sumber luka untuk semua pihak, pun diriku sendiri.

Maaf ya, aku masih kerap menyalahkan diri atas segala yang terjadi, padahal aku paham bahwa ini bukan sepenuhnya salahku. Bahwa aku sudah berusaha begitu kuat untuk tidak berubah menjadi monster, tapi nyatanya saat itu terkadang logikaku ditikam habis-habisan oleh perasaanku.

Aku pun masih menemukan diri dimana aku ingin berhenti menulis dan membenci semua tulisanku. Hal yang begitu menyenangkan seperti mengotak-atik kata untuk terlihat menyakitkan, kini rasanya berbeda. Sekarang tulisanku tercipta memang dari hal yang begitu menyakitkan. Aku ingin berhenti menulis. Tapi bagaimana caranya? Tidak bisakah kau memberitahuku sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menulis?

Apa kau tahu rasanya memiliki perasaan rendah diri? Bukan yang bermakna positif tapi lebih ke negatif. Seperti “dari semua perempuan yang ia temui, kenapa harus aku? Apa baginya aku serendah itu? segampang itu? jadi dia lebih memilihku daripada perempuan yang lain sebab mungkin aku terlihat mudah baginya?” pikiran seperti itu masih suka menyelinap, membuatku tidak percaya diri.

Ketika semua orang terdekat menyuruhku memiliki pasangan, aku malah tidak langsung memasang tembok yang begitu tinggi jika ada lelaki yang mendekat. Aku takut salah lagi. Aku tidak ingin menjadi apatis, tapi mungkin memang lukanya masih terlalu basah. Masih butuh waktu untuk bisa meregulasi emosi dngan sehat dan menyembuhkan lukanya dengan baik, agar tidak hanya tampak kering di luar tapi nyatanya dalamnya masih begitu basah.

Apapun yang kulakukan rasanya begitu terbatas. Banyak pikiran yang membuat langkahku menjadi tersendat. Seperti “bagaimana jika ini menyakitimu? Apakah tulisan ini membuat lukamu kembali terbuka? Apakah aku masih pantas menulis lukaku yang tidak sebanding dengan luakamu?haruskah aku menonaktifkan segala media sosialku?”

Aku ingin memadamkan diri dari kehidupanmu. Aku terlalu takut bersingungan denganmu, takut kamu terluka sebab kehadiranku. Takut segala tentangku masih mengusik dan berujung membuka lukamu. Jadi aku memilih untuk memutuskan segala akses yang bisa menghubungkanmu denganku.

Bukan. Jika kau berpikir apa aku membencimu? Maka jawabannya jelas, sama sekali tidak. Aku mendoakanmu setiap aku menengadah. Berharap doa yang kulangitkan bisa menebus kesalahanku, bisa menjadi obat bagi lukamu, dan bisa turut menjagamu.

Dengan hati yang tulus aku ingin kamu berbahagia. Tentu aku juga ingin berbahagia dengan lega. Aku padam agar kamu bisa kembali menyala. Tuhan menghendaki aku menempuh kejadian ini, itu berarti ada hal baik di dalamnya walaupun saat ini rasanya begitu menyakitkan bukan?

jangan khawatir, aku sedang melanjutkan kehidupanku dengan berusaha menjadi kesayangan Tuhanku. memaknai kejadian lalu dengan sudut pandang positif. 

Tulisan lainnya

Musim Rindu dipelantaran Juni

  Hai Jun~ Ini aku gadis bulan hujan Desember. Senang menyambut hujan dibulan Juni. Setelah mengenal pak Sapardi, aku sempat ingin menjadi...