Hai, ini aku perempuan
yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Aku akan berceloteh soal perasaanku
dengan maksud tulisan ini akan menjadi pengingat diriku dan alat untuk
meregulasi emosiku dengan sehat.
Kau tahu? rasa bersalah
itu masih kerap menyelimuti malamku. Aku benci ketika kepalaku selalu bertengkar
dengan perasaanku sendiri. Berdebat begitu hebat, membuatku kuwalahan. Aku berharap
logikaku selalu menjadi pemenang dalam perdebatan.
Masih ada malam dimana
aku menanggisi diri yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Kemarin aku
tumbuh menjadi makhluk yang jahat, menjadi sumber luka untuk semua pihak,
pun diriku sendiri.
Maaf ya, aku masih
kerap menyalahkan diri atas segala yang terjadi, padahal aku paham bahwa ini
bukan sepenuhnya salahku. Bahwa aku sudah berusaha begitu kuat untuk tidak
berubah menjadi monster, tapi nyatanya saat itu terkadang logikaku ditikam
habis-habisan oleh perasaanku.
Aku pun masih menemukan
diri dimana aku ingin berhenti menulis dan membenci semua tulisanku. Hal yang
begitu menyenangkan seperti mengotak-atik kata untuk terlihat menyakitkan, kini
rasanya berbeda. Sekarang tulisanku tercipta memang dari hal yang begitu
menyakitkan. Aku ingin berhenti menulis. Tapi bagaimana caranya? Tidak bisakah
kau memberitahuku sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menulis?
Apa kau tahu rasanya
memiliki perasaan rendah diri? Bukan yang bermakna positif tapi lebih ke
negatif. Seperti “dari semua perempuan
yang ia temui, kenapa harus aku? Apa baginya aku serendah itu? segampang itu?
jadi dia lebih memilihku daripada perempuan yang lain sebab mungkin aku
terlihat mudah baginya?” pikiran seperti itu masih suka menyelinap,
membuatku tidak percaya diri.
Ketika semua orang
terdekat menyuruhku memiliki pasangan, aku malah tidak langsung memasang
tembok yang begitu tinggi jika ada lelaki yang mendekat. Aku takut salah lagi. Aku tidak ingin menjadi apatis, tapi mungkin memang lukanya masih terlalu
basah. Masih butuh waktu untuk bisa meregulasi emosi dngan sehat dan
menyembuhkan lukanya dengan baik, agar tidak hanya tampak kering di luar tapi
nyatanya dalamnya masih begitu basah.
Apapun yang kulakukan
rasanya begitu terbatas. Banyak pikiran yang membuat langkahku menjadi
tersendat. Seperti “bagaimana jika ini
menyakitimu? Apakah tulisan ini membuat lukamu kembali terbuka? Apakah aku
masih pantas menulis lukaku yang tidak sebanding dengan luakamu?haruskah aku
menonaktifkan segala media sosialku?”
Aku ingin memadamkan
diri dari kehidupanmu. Aku terlalu takut bersingungan denganmu, takut kamu
terluka sebab kehadiranku. Takut segala tentangku masih mengusik dan berujung
membuka lukamu. Jadi aku memilih untuk memutuskan segala akses yang bisa
menghubungkanmu denganku.
Bukan. Jika kau berpikir
apa aku membencimu? Maka jawabannya jelas, sama sekali tidak. Aku mendoakanmu
setiap aku menengadah. Berharap doa yang kulangitkan bisa menebus kesalahanku,
bisa menjadi obat bagi lukamu, dan bisa turut menjagamu.
Dengan hati yang tulus
aku ingin kamu berbahagia. Tentu aku juga ingin berbahagia dengan lega. Aku padam
agar kamu bisa kembali menyala. Tuhan menghendaki aku menempuh kejadian ini,
itu berarti ada hal baik di dalamnya walaupun saat ini rasanya begitu
menyakitkan bukan?
jangan khawatir, aku sedang melanjutkan kehidupanku dengan berusaha menjadi kesayangan Tuhanku. memaknai kejadian lalu dengan sudut pandang positif.
Komentar
Posting Komentar