Kamis, 25 Januari 2024

Aku Padam Agar Kau Bisa Kembali Menyala


Hai, ini aku perempuan yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Aku akan berceloteh soal perasaanku dengan maksud tulisan ini akan menjadi pengingat diriku dan alat untuk meregulasi emosiku dengan sehat.

Kau tahu? rasa bersalah itu masih kerap menyelimuti malamku. Aku benci ketika kepalaku selalu bertengkar dengan perasaanku sendiri. Berdebat begitu hebat, membuatku kuwalahan. Aku berharap logikaku selalu menjadi pemenang dalam perdebatan.

Masih ada malam dimana aku menanggisi diri yang kemarin sempat tumbuh menjadi monster. Kemarin aku tumbuh menjadi makhluk yang jahat, menjadi sumber luka untuk semua pihak, pun diriku sendiri.

Maaf ya, aku masih kerap menyalahkan diri atas segala yang terjadi, padahal aku paham bahwa ini bukan sepenuhnya salahku. Bahwa aku sudah berusaha begitu kuat untuk tidak berubah menjadi monster, tapi nyatanya saat itu terkadang logikaku ditikam habis-habisan oleh perasaanku.

Aku pun masih menemukan diri dimana aku ingin berhenti menulis dan membenci semua tulisanku. Hal yang begitu menyenangkan seperti mengotak-atik kata untuk terlihat menyakitkan, kini rasanya berbeda. Sekarang tulisanku tercipta memang dari hal yang begitu menyakitkan. Aku ingin berhenti menulis. Tapi bagaimana caranya? Tidak bisakah kau memberitahuku sesuatu yang lebih menyenangkan daripada menulis?

Apa kau tahu rasanya memiliki perasaan rendah diri? Bukan yang bermakna positif tapi lebih ke negatif. Seperti “dari semua perempuan yang ia temui, kenapa harus aku? Apa baginya aku serendah itu? segampang itu? jadi dia lebih memilihku daripada perempuan yang lain sebab mungkin aku terlihat mudah baginya?” pikiran seperti itu masih suka menyelinap, membuatku tidak percaya diri.

Ketika semua orang terdekat menyuruhku memiliki pasangan, aku malah tidak langsung memasang tembok yang begitu tinggi jika ada lelaki yang mendekat. Aku takut salah lagi. Aku tidak ingin menjadi apatis, tapi mungkin memang lukanya masih terlalu basah. Masih butuh waktu untuk bisa meregulasi emosi dngan sehat dan menyembuhkan lukanya dengan baik, agar tidak hanya tampak kering di luar tapi nyatanya dalamnya masih begitu basah.

Apapun yang kulakukan rasanya begitu terbatas. Banyak pikiran yang membuat langkahku menjadi tersendat. Seperti “bagaimana jika ini menyakitimu? Apakah tulisan ini membuat lukamu kembali terbuka? Apakah aku masih pantas menulis lukaku yang tidak sebanding dengan luakamu?haruskah aku menonaktifkan segala media sosialku?”

Aku ingin memadamkan diri dari kehidupanmu. Aku terlalu takut bersingungan denganmu, takut kamu terluka sebab kehadiranku. Takut segala tentangku masih mengusik dan berujung membuka lukamu. Jadi aku memilih untuk memutuskan segala akses yang bisa menghubungkanmu denganku.

Bukan. Jika kau berpikir apa aku membencimu? Maka jawabannya jelas, sama sekali tidak. Aku mendoakanmu setiap aku menengadah. Berharap doa yang kulangitkan bisa menebus kesalahanku, bisa menjadi obat bagi lukamu, dan bisa turut menjagamu.

Dengan hati yang tulus aku ingin kamu berbahagia. Tentu aku juga ingin berbahagia dengan lega. Aku padam agar kamu bisa kembali menyala. Tuhan menghendaki aku menempuh kejadian ini, itu berarti ada hal baik di dalamnya walaupun saat ini rasanya begitu menyakitkan bukan?

jangan khawatir, aku sedang melanjutkan kehidupanku dengan berusaha menjadi kesayangan Tuhanku. memaknai kejadian lalu dengan sudut pandang positif. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Tulisan lainnya

Musim Rindu dipelantaran Juni

  Hai Jun~ Ini aku gadis bulan hujan Desember. Senang menyambut hujan dibulan Juni. Setelah mengenal pak Sapardi, aku sempat ingin menjadi...