Akhir-akhir ini hujan
seringkali tiba tanpa aba-aba. Tanpa dimulai gerimis kecil yang rintiknya
begitu romantis. Tanpa langit dengan awan yang mendung. Hujan datang begitu derasnya dengan angin yang membersamai dan terkadang guntur beserta kilat juga
ikut menemani. Rasanya seperti mendapat kejutan dari alam semesta.
Dengan datangnya hujan
yang tiba tanpa aba-aba itu, apa kau terusik? Jika aku? Aku tidak. Kau tahu?
bagiku rasanya seperti alarm kebahagiaan sedang berdering begitu keras di
telinga. Alarm untuk diriku agar menulis rasa rindu yang sedang mengelitik. Alarm
untuk membuat indomie rebus rasa soto dengan telor dan 3 cabe. Alarm untuk
menyeduh kopi hitam panas. Alarm untuk berbincang romantis dengan Tuhan.
Seperti hari ini, hujan
datang dan pergi seenak jidat berkali-kali. Ketika aku menulis ini waktu menunjukkan
pukul 23.46 WIB, hujan sedang menguyur bumi bagian Pemalang begitu deras dengan
guntur dan kilat sesekali. Seharusnya suasana ini sangat nyaman untuk tidur di
bawah selimut. Hanya saja mataku tidak dapat terpejam. Semenjak aku tidak
mengonsumsi obat lagi, kebiasaan tidurku juga kembali. Menyebalkan bukan?,
rasanya baru kemarin aku begitu senang mendapatkan pola tidur yang sehat meski
dibantu dengan obat. Tapi aku lebih senang tidak mengonsumsi obat-obat sialan
itu. Kau paham aku tidak pandai menelan obat? Ku beri tau, aku sangat payah soal ini.
Aih kenapa aku jadi
membahas obat. Kita lewati saja pembahasan ini. Hujan yang tiba-tiba ini mengingatkanku
dengan Bandung di bulan Desember lalu. Jadi ijinkan aku berceloteh tentang
Bandung kali ini. Bandung adalah salah satu kota dalam daftar yang ingin
kujelajahi. Kau tahu aku sangat menyukai berpergian ke kota orang bukan?. Mengendong
ransel dipunggung, berjalan menyusuri kota, pergi ketempat-tempat yang
direkomendasikan, kulineran dan bertemu dengan orang-orang asing. Aku
menyukainya. Sangat.
Aku mendapatkan Bandung
untuk merayakan bab dua puluh limaku, mendapatkan gelar, dan berhasil bertahan dari
hal yang menakutkan. Selain itu, aku sangat ingin menikmati Bandung selepas
hujan di bulan Desember. Aku ingin membuktikan sesuatu.
Sebenarnya aku lebih
menyukai menjadi backpacker dibanding harus menyeret-nyeret koper. memilih
penginapan di homestay daripada di hotel dan berpergian seorang diri. Tapi,
tidak berlaku untuk perjalanan saat itu. Perjalanan saat itu tidak bisa seenak
jidat. Ada beberapa syarat dan ketentuan yang berlaku, menginggat aku pergi
ketika tubuhku belum sepenuhnya pulih.
Membawa kotak p3k, memastikan mengkonsumsi obat tepat waktu, tidak ada
ransel kesayangan di punggung dan dibersamai ibuku.
Perjalanan di Bandungku
selama 3 hari 2 malam. waktu yang begitu singkat, sebab ternyata aku begitu
betah di Bandung. Kau tahu? Bandung selepas gerimis di bulan Desember ternyata memang
begitu manis dan romantis.
Kedatanganku di Bandung
disambut hujan rintik-rintik yang tidak menganggu, tidak pula menghentikan
langkahku untuk menyusuri kota ini. Malah aku merasa disambut dengan begitu
romantis. Kali ini aku hanya ingin bercerita tentang Bandung bagian Braga.
Hari pertama di Bandung
selepas magrib, aku memutuskan untuk mengunjungi jalan Braga sebab lagu dari
Fiaersa Besari yang berjudul Bandung, selain itu juga sebab ada Toko Tahilalat
yang ingin kudatangi. Keputusanku untuk menyusuri Braga sangat tepat. Desember,
Jalan Braga yang basah selepas hujan, penyanyi jalanan yang berdendang, pelukis
jalanan yang beraksi, kopi pertama selepas operasi, pasangan kekasih yang
mengantri es krim, semuanya memberi getaran yang menyenangkan. Tidak percaya? Kau
boleh membuktikannya sendiri.
Tapi Sialnya. Dinginnya
Bandung membuat sesuatu menyelusup tak tahu malu. Rindu datang begitu
terburu-buru, meminta ditimang-timang, tidak membiarkan kulengah sedikitpun. Jika
saja aku bisa membungkus suasana braga malam itu dan perasaanku saat itu, akan
kubungkuskan untukmu dalam amplop cokelat yang kututup rapat-rapat dan
kukirimkan kealamat rumahmu. Tapi aku lupa, seperti Jalan Braga yang kini hanya
bisa di kenang, kau pun sama.
Kau tahu? setelah menelisik
lebih dalam, kau persis seperti Braga kala itu. seperti Braga yang memberikan
getaran manis, kau pun sama. Seperti udara braga yang begitu syahdu, kau pun
sama. Seperti Braga yang membuatku betah, kau pun sama. Seperti Braga yang
hanya memberikan ingatan yang bahagia, kau pun sama. Seperti Braga ketika
ditinggalkan memberikan oleh-oleh sebungkus rindu penuh, kau pun sama.
Seperti Braga yang
tidak akan mengingat orang-orang yang berkunjung sebab terlampau banyak yang
berlalu-lalang, kau pun sama. Aku salah satu orang yang datang begitu singkat
dikehidupanmu, kini dipaksa meredup sebab banyak orang-orang yang juga
berlalu-lalang dikehidupanmu. Bukankah ingatan tentangku telah meredup? Atau bahkan
sudah padam? Tapi bagiku kau seperti Braga yang kuanggap istimewah
meski perjalananku begitu singkat. Ingatan tentangku hanya sementara dikepalamu
tapi ingatan tentangmu ternyata selamanya diingatanku.
Komentar
Posting Komentar