Langsung ke konten utama

Aku Kembali, Barangkali Kau Rindu.

 

Hai, bagaimana kabarmu? Lama tidak menyapamu bukan? Apa kau punya waktu? Bisakah kau sediakan waktumu barang sebentar? Ada cerita yang ingin kubagi denganmu, barangkali kau juga rindu mendengarkanku berceloteh. Apa kau perlu kopi? Atau cokelat hangat? Sebentar akan aku siapkan, sebab cerita kali ini sedikit panjang.

Sebelumnya aku ingin meminta maaf, sebab lama tidak mengunjungi ruang imaji. Ternyata sudah setahun aku tidak menulis apapun dan berbagi kisah denganmu. Aku akan mencoba memberi penjelasan, situasi yang terjadi setahun belakang kenapa tidak ada tulisan baru di ruang imaji.

Jadi begini....

Setelah merampungkan pendidikan sarjana dan resmi mendapat gelar. Aku mengemas semua barang beserta kenangan yang aku miliki di Semarang dan membawanya pulang ke rumah di Pemalang. Satu hari setelah aku diwisuda. Untuk ucapan perpisahan, aku menyempatkan mendatangi beberapa tempat di Semarang yang kiranya akan aku rindukan.  Tempat yang pertama aku kunjungi adalah Gramedia Pandanaran, sebab aku selalu mampu menemukan kesenangan di tempat ini, sebuah tempat terjadinya perampokan isi dompet yang tidak pernah kusesali. Setelah menghabiskan waktu berjam-jam berkeliling melihat koleksi buku-buku dan berakhir kebingungan memilih buku mana yang kiranya harus kumiliki terlebih dahulu. Akhirnya aku membeli 2 buku. Seni Merayu Tuhan oleh Husein Ja'far Al-Hadar dan buku Cinta Keindahan Kesunyian oleh Kahlil Gibran.

Setelah merasa puas di Gramedia, seperti biasa, ada rutinitas yang aku lakukan setelah dari sana yaitu mengonsumsi es krim. Aku berjalan dari Gramedia menuju CL Mall  untuk membeli es krim di McDonald’s. Setelah mendapatkan es krimku, aku memilih tempat duduk dan mulai menyantap dengan perlahan sambil melihat orang-orang berlalu lalang.

Setelah eskrim habis, aku memesan gojek untuk menuju ketempat selanjutnya, ke kota lama mendatangi tempat kedai kopi Tekodeko. Setelah memesan es cappucino aku memilih tempat duduk di lantai 2, lagi-lagi dengan alasan agar bisa mengamati jalan dan melihat orang-orang berlalu lalang. Aku menghabiskan waktu untuk membaca buku yang telah kubeli tadi. Hingga lampu jalanan mulai menyala dan langit telah berubah warna menjadi gelap. Aku memutuskan untuk ke kembali ke kos dan mengambil barang lalu menuju pulang ke Pemalang dengan kereta. Aku kembali ke Pemalang dengan perasaan lega, sebab aku telah berhasil mengucap selamat tinggal kepada Semarang dengan cara yang menyenangkan.

Di Pemalang semuanya berubah. Perasaan lega itu hilang. Sejak Juni hingga November pikiranku berantakan. Aku berusaha keras untuk mendapatkan pekerjaan, aku mencoba mengirim lamaran ke berbagai perusahaan, tapi pada akhirnya hasilnya sama. Di tolak berulang-ulang berbulan-bulan. Malam yang seharusnya bisa mengusir penat malah jadi melelahkan, sebab harus bertengkar dengan diri sendiri. Memiliki gelar S.Pd tapi tidak ada keinginan bekerja menjadi Guru. Mencari pekerjaan diluar pendidikan tapi tak kunjung dapat. Hingga pada bulan September, aku akhirnya luluh oleh bujuk keluargaku untuk mengikuti seleksi PPG (Pendidikan Profesi Guru). Tiga bulan aku mengikuti berbagai tahapan seleksi dan Sialnya semuanya dipermudah. Hingga Desember aku mendapatkan kabar, bahwa aku kembali menjadi mahasiswa dan ditempatkan di Universitas Pancasakti Tegal. Sungguh diluar dugaan.

Tapi kau tidak perlu khawatir, sekarang aku sudah berdamai dengan pilihanku. Sebab aku percaya, misi Semesta jauh lebih menarik ketimbang punyaku. Tuhanku paling paham apa-apa yang hambaNya ini butuhkan dan mana yang paling baik untukku. Yang perlu kulakukan sekarang hanya berusaha dan menikmatinya bukan?, dengan begitu Tuhan akan senang jika pemberianNya diterima baik oleh hambaNya.

Sejak Desember kemarin, aku sudah mulai aktif berkuliah dan mengalami kecemasan sebab harus beradaptasi dengan lingkungan yang berisi manusia-manusia yang usianya dan pengalamannya jauh diatas diriku. Di tengah-tengah kesibukanku menjadi mahasiswa kembali. Aku masih suka menyempatkan ke kedai kopi. Memesan segelas es americano tanpa gula dan sepiring cemilan mix platter. Selesai memesan, aku pergi ke tempat duduk dipojok dan paling belakang. Tempat yang menurutku, aku bisa mengamati orang-orang yang berlalu lalang dan sibuk dengan kegiatan mereka.

Seperti malam ini, aku melihat seorang lelaki dengan perawakan tinggi dengan rambut yang pendek tapi terlihat berantakan, ia mengenakan kemeja panjang berwarna cokelat muda dan bagian lengannya ia lipat hingga siku, sangat cocok dengan tubuhnya . Ia masuk dan memilih tempat duduk di sebelah jendela. Tatapan mata yang mirip pasar malam selepas hujan. Meski nyala terang tapi sepi dan dingin. Ingin rasanya bergabung di mejanya, meminjamkan sepasang telinga untuk mendengarkan segala keluh yang sepertinya telah lama dibungkamnya sendiri.

Mata lelaki itu terus menatap meja dihadapannya. Tanpa sadar mataku mengikutinya, pemandangan yang menyenangkan. Di dekat bar, terlihat sepasang kekasih yang sedang asik berbagi cerita berserta tawa yang renyah dan sesekali saling menyuapi makanan. Begitu manis.

Mereka berhasil membangunkan imajinasiku dan menghadirkan kamu dalam pikiranku, tentang bagaimana jika kita menghabiskan waktu duduk berdua di kedai kopi. Membicarakan apapun. Dari obrolan berat seperti politik, rumus fisika, sejarah, ataupun perkara agama.

Jika kau mulai bosan kita bisa membicarakan berita yang sedang hangat diperbincangkan khalayak umum seperti “kenapa Indonesia gagal menjadi tuan rumah piala dunia U20?”

Kita juga bisa mengomentari hal-hal acak, “bagaimana rasanya menjadi lampu jalanan?” atau “kenapa bantal guling hanya ada di Indonesia?” -misalnya.

Kita juga bisa berbagi kisah dan menertawakan kegagalan-kegagalan yang pernah kita lewati. Kamu tidak perlu risau mengenai ketakutakanmu kehabisan bahan obrolan. Otak kecilku ini punya segudang bahan obrolan dan setumpuk cerita yang ingin kubagi denganmu. Kau hanya perlu menyediakan telingamu. Jika memang kita kehabisan bahan obrolan, menikmati sunyi bersamamu masih akan terasa menyenangkan. Saat itu, kita akan menjadi dua orang yang lupa waktu dan aku akan menjadi perempuan yang paling bersyukur bisa menghabiskan waktu denganmu.

Lamunanku menghabiskan waktu denganmu buyar. Sebab para barista telah berbenah. Ada yang mengelap meja bar, ada yang mengangkat kursi-kursi dan diletakkannya diatas meja, dan ada yang menghampiriku untuk mengatakan “maaf kak, kami sudah akan tutup.”

Karna aku sudah diusir, Kurasa aku harus menyudahi tulisanku kali ini, sebab ceritaku sudah terlalu panjang dan sudah melantur. Setelah mendengarkanku bercerita, apa kau bisa sedikit mengerti kenapa aku tidak menulis selama setahun belakangan? Kuharap kau mengerti. Terimakasih untukmu yang sudah mau membaca hingga akhir. Sampai jumpa di tulisan-tulisanku berikutnya dan selamat berpuasa.

Komentar

Postingan populer dari blog ini

Teruntuk El yang Berumur 24 Tahun

Banyak tulisan yang aku buat untuk orang lain, tapi aku lupa membuat surat untuk diriku sendiri. Jadi surat ini aku peruntukan untuk diriku sendiri yang sedang menjalani usia 24 tahunnya. Hai El, apa kabar? Sedang tidak baik-baik saja kan? tidak apa~ hidup memang seperti ini. Kan malah aneh kalo hidup selalu baik-baik saja. nanti malah kamu nggak bisa bersyukur. Nanti kamu nggak tahu nikmatnya ngeliatin langit ketika hari lagi capek-capeknya. Beberapa tahun terakhir banyak hal-hal menyebalkan yang menganggu pikiran kan? banyak kejutan-kejutan yang terjadi, yang seringkali bikin tidur tidak nyenyakkan?. Tidak apa~ kan kamu pandai berprasangka baik, percaya saja, Tuhan sedang merencanakan sesuatu yang bakal bikin kamu senyum-senyum pada akhirnya. Sekarang umur 24 tahun, bagaimana rasanya berada di umur yang sudah dianggap dewasa? Susah ya? Capek ya? Berat ya?. Apalagi ngeliat teman-teman seumuran udah pada kerja, udah bisa ngasih duit ke orang tua, jajanin adek dan ponakan pakai du

Apa Malam Sudah Semakin Larut?

  Hai, apakah kau dari luar? Apakah di luar langit sudah gelap? Kurasa malam sudah semakin larut, aku mulai hanyut dalam takut sebab pikiranku semakin kalut. Aku sudah tahu kau akan datang. Kemarilah, kau boleh duduk sejenak di sini. Tapi kurasa kali ini tidak akan nyaman, aku membawa kabar kurang menyenangkan. Bajumu sedikit basah, kurasa gerimis sudah datang. Bukankah rasanya sudah seperti November akan berakhir? Hujan seringkali tiba tanpa aba-aba. Kau tahu? Aku menyukainya, suasana bulan hujan, aku suka. Mungkin sebab aku lahir di bulan hujan. Entahlah~ Tapi satu yang membuatku tidak suka bulan hujan, aku selalu merasa khawatir jika orang yang kusayangi melakukan perjalanan dan berkendara di saat hujan. Kuharap kau selalu hati-hati ketika berkendara, kurangi kecepatanmu dan jangan bermain ponsel ketika berkendara, dan semoga kau selalu dalam penjagaan Tuhan.   Aku tidak menghidangkan kopi karena cerita kali ini akan terasa pahit. Secangkir teh hangat tawar untukmu, tentu dengan